Merza Cakep Banget .......

Lorem ipsum lorem ipsum lorem ipsum lorem ipsum.......

WAKAF SEBAGAI KEKHUSUSAN UMAT ISLAM

WAKAF SEBAGAI KEKHUSUSAN UMAT ISLAM

الأوقاف كخصيصة من خصائص الأمة الإسلامية


By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.



PT SYARIKAT TAKAFUL INDONESIA
JAKARTA 5 NOVEMBER 2004
WAKAF SEBAGAI KEKHUSUSAN UMAT ISLAM
الأوقاف كخصيصة من خصائص الأمة الإسلامية

By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.


Muqadimah
Islam merupakan Al-Din AL-Syamil yang ajarannya mencakup segenap aspek kehidupan manusia, dari mulai yang terkecil hingga yang besar. Disamping itu, ajaran Islam juga memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan agama-agama lainnya, yaitu adanya unsur Ta’awun dan Takaful Ijtima’I (Baca; tolong menolong dan saling peduli sesama penganutnya). Oleh karena itu kita melihat banyak sekali ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan muamalah, selalu ada unsur “pemeliharaan” terhadap hak-hak orang lain yang terkait dengan subyek atau pelaku muamalah tersebut, baik obyek, syahid, wakil dan lain sebagainya. Dan salah satu ajaran Islam yang menarik dalam masalah muamalah adalah masalah wakaf.
Imam Nawawi ketika mengomentari tentang wakaf, beliau mengemukakan bahwa wakaf merupakan sesuatu yang secara khusus hanya dimiliki oleh kaum muslimin (Al-Zuhaily, 1996 :VIII/ 157) :
وهو مما اختص به المسلمون
Komentar ini bahkan juga menguatkan komentar para A’immah lainnya, seperti Imam Syafi’I yang mengatakan, ‘aku tidak mengetahui adanya ahlul jahiliyah yang mewakafkan rumah atau tanahnya.” (Al-Zuhaily, 1996 : VIII/ 157) :
لم يحبس أهل الجاهلية دارا ولا أرضا فيما علمت
Selain komentar dua Imam besar tersebut, sesungguhnya masih banyak komentar-komentar para A’immah lainnya mengenai permasalahan wakaf ini. Namun pada intinya, wakaf merupakan sebuah perbuatan kebaikan yang sangat dianjurkan dalam Islam , untuk mengharapkan balasan semata-mata dari Allah SWT. Dan di sisi yang lain wakaf juga sangat bermanfaat untuk memberdayakan umat dalam segela aspeknya; pendidikan, kesehatan, ketrampilan, sarana ibadah dan sosial dan lain sebagainya. Untuk itulah perlu adanya penanganan yang baik da profesional dalam pengelolaan dana zakat umat.

Definisi Wakaf.
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berasal dari kata waqf ( وقف ) yang memiliki beberapa arti, diantaranya :( رديئة ) terkembalikan, ( التحبيس ) tertahan, ( التسبيل ) tertawan dan ( المنع ) Mencegah. Karena harta yang diwakafkan itu, asli dari harta tersebut harus tertahan, artinya tidak boleh habis dikonsumsi.
Adapun dari segi istilahnya, wakaf memiliki beberapa definisi yang beragam, namun terdapat definisi yang umum, yaitu : ‘menahan suatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan untuk jalan kebaikan.’ (Suhendi, 2002 : 240). Atau definisi dari segi istilah arabnya yang masyhur digunakan adalah sebagaimana yang dikemuakan oleh Al-Zuhaily (1996 : VIII/ 154) :
حبس مال يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته من الواقف وغيره، على مصرف مباح موجود
“Menahan harta yang dimungkinkan untuk dimanfaatkan dengan tetap membiarkan zat bendanya kekal, dengan memutuskan hak tasharruf (dari wakif) dan (diberikan hak pengelolaannya) kepada Mushorrif yang diperbolehkan keberadaannya.’

Namun pada intinya zakat itu merupakan “pemindahan” kepemilikian seseorang terhadap suatu harta, dari miliki dirinya menjadi miliki Allah SWT, untuk digunakan dalam hal-hal yang bersifat kebajikan untuk kemaslahatan umat. Dan orang yang mewakafkan hartanya tersebut akan menikmati “manfaat wakaf” hingga akhir zaman, karena apa yang diwakafkannya tersebut menjadi shadaqah jariyah sebagaimana yang digambarkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila manusia telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya akan terputus dari dirinya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim)

Selain definisi di atas, juga terdapat definisi yang digunakan oleh Dompet Dhuafa, yang lebih mudah untuk difahami, yaitu Waqaf adalah menahan asli harta dan mendermakan hasilnya di jalan Allah. Diberikan seseorang, keluarga, atau kelompok masyarakat secara permanen untuk kepentingan umum, masyarakat, dan bermanfaat lebih bagi dhuafa.
Waqaf bisa berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang dapat digunakan terus-menerus oleh masyarakat sesuai koridor syariah. Harta tersebut tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Waqaf memiliki makna shadaqah jariyah yang pahalanya akan terus-menerus mengalir ke muwaqqif (yang berwaqaf) meskipun sudah meninggal dunia.


Legalitas Wakaf Secara Syar’i
Jumhur ulama (kecuali Hanafiyah) mengemukakan bahwa wakaf merupakan perbuatan sunnah yang dianjurkan. Karena wakaf merupakan “Tabarru’ (pemberian yang dimotivasi oleh syariat). (Al-Zuhaily, 1996 : VIII/ 156). Diantara dalil-dalil yang menganjurkan wakaf adalah antara lain :
1. QS. Ali Imran/ 3 : 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

2. QS. Al-Baqarah/ 2 : 267
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”

3. Hadits Riwayat Bukhari (Kitab Asyurut, Bab Asyurut Fil Waqf)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّل (رواه البخاري)
Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Umar bin Khatab mendapatkan satu bidang tanah di Khaibar. Lalu beliau mendatangi Rasulullah SAW untuk meminta pendapatnya dalam masalah ini. Umar berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan tanah di Khaibar yang aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga dari pada harta ini. Maka berikanlah pendapatmu tentang tanah ini.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Jika engkau mau maka sedekahkanlah (baca ; wakafkanlah) pokoknya dan bershadaqahlah dengan (hasil)nya. Kemudian Umar mewakafkan tanah tersebut, (dengan syarat) bahwa tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh diberikan dan tidak boleh diwariskan. Maka Umar mewakafkannya pada fakir miskin, kerabat dekat, untuk memerdekakan budak, fi sabilillah, ibnu sabil dan juga tamu. Dan tidak mengapa bagi orang yang mengurusinya untuk memakan dan memberi makan daripadanya dengan cara yang baik, dan tidak untuk mengumpulkan harta. (HR. Bukhari)

4. Hadits Riwayat Bukhari (Kitab Al-Washaya, Bab Waqf Al-Ardh Lil Masjid)
عَنْ أَنَسٍ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَقَالَ يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا قَالُوا لاَ وَاللَّهِ لاَ نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلاَّ إِلَى اللَّهِ (رواه البخاري)
Dari Anas bin Malik ra, bahwasanya ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah beliau memirintahkan untuk membangun masjid. Kemudian beliau berkata, ‘Wahai Bani Najar, hargakanlah (juallah) dinding-dinding kalian ini.’ Lalu mereka menjawab, ‘Demi Allah Kami tidak menginginkan harganya, kecuali hanya (menginginkan) keridhaan Allah SWT.” (HR. Bukhari)

5. Hadits Riwayat Muslim (Kitab Zakat Bab Fadhl Nafaqah Was Shadaqah)
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ أَنْصَارِيٍّ بِالْمَدِينَةِ مَالاً وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرَحَى وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ قَالَ أَنَسٌ فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرَحَى وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ شِئْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيهَا وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي اْلأَقْرَبِينَ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ (رواه مسلم)
Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Abu Thalhah merupakan sahabat Anshar yang paling banyak hartanya. Dan harta yang paling disukainya adalah “Bairaha”, (yaitu sebuah tanah) yang menghadap ke Masjid. Dan Rasulullah SAW terkadang memasukinya dan meminum air daripadanya yang baik. Anas berkata, ketika ayat ini turun, (QS. 3 : 92) ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.’ Mendengar ayat ini Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah berfirman dalam Al-Qur’an, ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.’ Dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha’. Dan aku menjadikannya shadaqoh (wakaf) dengan mengharap kebaikannya dan pahalanya di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, bagikanlah wahai Rasulullah SAW sekehendak engkau.’ Rasulullah SAW bersabda, Sungguh ini merupakan harta yang beruntung, ini merupakan harta yang beruntung, dan aku telah mendengar apa yang engkau ucapkan. Aku melihat bahwa lebih baik engkau membagikannya kepada kerabat dekat.’ Lalu Abu Thalhah membagikannya pada kerabat dekatnya dan anak-anak pamannya. (HR. Muslim)

Selain ayat dan hadits-hadits di atas, juga masih terdapat dalil-dalil lainnya yang memotivasi umat untuk berwakaf. Hanya perlu digaris bawahi bahwa para sahabat tidak satupun yang memiliki kemampuan, melainkan mereka berwakaf, sebagaimana dikemukakan oleh Jabir ra. Oleh karena itulah, perlu sosialisasi zakat ke umat agar mereka juga termotivasi untuk mewakafkan sebagian wakafnya. Disamping itu, Lembaga-Lembaga Keuangan Syariah juga perlu memfasilitasi wakaf dari umat. Dan Alhamdulillah Takaful mempelopori dengan meluncurkan produk Takaful Dana Wakaf (Fulwakaf), yaitu produk wakaf dalam bentuk asuransi.


Beberapa Ketentuan Fiqhiyah Dalam Wakaf
Wakaf memiliki beberapa ketentuan-ketentuan yang mencakup syarat-syarat dan rukun-rukun serta hal-hal yang berkaitan dengan wakif (pemberi wakaf), mauquf (harta yang diwakafkan), mauquf alaih (tujuan atau peruntukan wakaf) dan shighatul waqf (pernyataan wakaf). Atau juga hal-hal lainnya.
Adapun rukun wakaf, jumhur ulama mengatakannya ada empat, yaitu (1) Wakif ; Orang yang memberikan wakaf, (2) mauquf (harta yang diwakafkan), (3) mauquf alaih (tujuan atau peruntukan wakaf) dan (4) shighatul waqf (pernyataan wakaf) . Dibawah rukun-rukun ini terdapat beberapa syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun tersebut. Diantara syarat-syaratnya adalah :
• Syarat-syarat yang berkaitan dengan wakif adalah bahwa wakif harus mempunyai kecakapan melakukan tabarru’, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi. Diantara sifatnya yaitu orang yang baligh, berakal sehat dan tidak terpaksa.
• Syarat yang berkaitan dengan mauquf adalah bahwa harta yang diwakafkan tersebut harus merupakan barang yang bernilai, dimiliki oleh wakif dan tahan lama untuk digunakan.
• Syarat yang berkaitan dengan mauquf alaih adalah bahwa tujuan wakaf itu harus tidak bertentangan dengan nilai-nilai ibadah.
• Syarat-syarat yang berkaitan dengan shigah adalah bahwa wakaf disighahkan, baik dengan lisan, tulisan maupun isyarat.


Wakaf Tunai
Dewasa ini muncul pengertian wakaf tunai di kalangan masyarakat kita. Dari satu sisi, wakaf tunai ini memilki fungsi yang lebih maksimal dibandingkan dengan wakaf tanah atau wakaf bangunan misalnya. Karena wakaf tunai dapat diperuntukkan apa saja berdasarkan skala prioritas yang dibutuhkan umat. Namun di sisi yang lain, jika dicermati dari beberapa kitab klasik, akan dijumpai perdebatan dikalangan ulama mengenai wakaf tunai ini. Meskipun penulis melihat bahwa sebagian ulama yang melarangnya karena melihat bahwa uang tersebut akan habis bila dimanfaatkan. Sementara uang dapat digunakan untuk investasi misalnya, yang kemudian profit dari investasi tersebut dapat gunakan untuk kebaikan, baik untuk fakir miskin, sarana kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Sehingga tidak ada masalah jika “uang tunai” yang diwakafkan tersebut tidak habis dikonsumsi.
Dalam istilah arabnya, wakaf tunai adalah ( وقف النقود ) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi cash wakaf. Lalu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indoesia dengan dua istilah, pertama wakaf tunai, dan kedua wakaf uang. Namun penulis berkeyakinan bahwa kedua istilah ini mengacu pada istilah arab yang satu, yaitu waqfun nuqud.
Sedangkan dari segi istilahnya Wakaf Tunai adalah : “Penyerahan hak milik berupa uang tunai kepada seseorang atau lembaga nadzir (pengelola waqaf). Ketentuan, hasil, dan manfaatnya digunakan untuk amal kebajikan sesuai dengan syariat Islam, dengan tidak mengurangi atau menghilangkan jumlah pokoknya.”

Pemanfaatan Wakaf Tunai
Sedangkan dari segi pemanfaatannya, Waqaf Tunai dapat digunakan untuk menghidupkan waqaf-waqaf non tunai (tanah, bangunan) menjadi waqaf-waqaf non tunial lainnya seperti rumah sakit, sekolah, gedung perkantoran, dan lain-lain. Atau dapat digunakan berdasarkan hajat (baca; prioritas kebutuhan) yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Bahkan penggunaan dana wakaf ini begitu fleksibel hingga pada pemberdayaan ekonomi umat baik secara makro maupun mikro, mengentaskan kemiskinan, pembiayaan UKM, beasiswa, saranan pendidikan atau apa saja dalam rangka untuk meningkatkan kualitas umat secara menyeluruh.
Adapun frame yang tidak diperbolehkan penggunaan dana wakaf tunai ini (bahkan juga segala jenis wakaf) adalah pada hal-hal yang bertentangan dengan Syariah Islam. Seperti untuk membangun gereja, mewakafkan buku-buku yang mengajak pada kekafiran dan ingkar kepada Allah SWT, perjudian, perbuatan maksiat dan lain sebagainya.

Wallahu A’lam Bis Shawab

DraFt RUU PeRBanKaN SyAriaH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ___ TAHUN 200_
TENTANG
PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MENIMBANG :
a. Bahwa untuk memajukan perekonomian nasional yang merata guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri;
b. Bahwa perbankan Syariah yang berasaskan prinsip syariah dengan fungsi sebagai penghimpun, penyalur, pengelola dana masyarakat serta pelaksana kegiatan dalam rangka kemaslahatan masyarakat memiliki peran yang strategis untuk memajukan perekonomian nasional guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri tersebut;
c. Bahwa untuk lebih mendorong pertumbuhan Perbankan Syariah secara optimal, diperlukan pengaturan kegiatan bank syariah yang komprehensif, jelas dan mengandung kepastian hukum;
d. Bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang Bank Syariah dalam undang-undang tersendiri

MENGINGAT :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 19945.
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembar Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembar Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembar Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembar Negara Nomor 3790);
3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian (Lembar Negara Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembar Negara Nomor 3502);
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembar Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembar Negara Nomor 3587);
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembar Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembar Negara Nomor 3608).
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembar Negara Tahun 1999 Nomor 66 , Tambahan Lembaran Negara 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembar Negara Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4352).

DENGAN PERSETUJUAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

MENETAPKAN : UNDANG-UNDANG TENTANG PERBANKAN SYARIAH

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, menyangkut kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya;
2. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, menyangkut kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya yang berdasarkan Prinsip Syariah;
3. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk melakukan investasi dan penitipan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah;
4. Bank Syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk investasi dan titipan dana dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan/atau bentuk-bentuk lainnya berdasarkan Prinsip Syariah;
5. Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
6. Direktorat Usaha Syariah adalah satuan kerja di kantor pusat bank konvensional yang melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah yang dipimpin oleh seorang direktur untuk mengepalai direktorat tersebut;
7. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang melaksanakan kegiatan usaha bank berdasarkan Prinsip Syariah, yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran;
8. Kantor Cabang adalah kantor Bank Syariah yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank Syariah yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas di mana kantor cabang tersebut melakukan kegiatan dan usahanya;
9. Unit Syariah adalah satuan kerja khusus dari kantor cabang atau kantor cabang pembantu bank yang kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana, penyaluran dana, dan pemberian jasa perbankan lainnya berdasarkan Prinsip Syariah dalam rangka persiapan perubahan menjadi kantor cabang syariah;
10. Bank Umum Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran;
11. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
12. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah;
13. Nasabah Penitip dan/atau Nasabah Investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dalam bentuk titipan berdasarkan akad Bank Syariah dengan nasabah yang bersangkutan;
14. Nasabah Pembiayaan adalah nasabah yang memperoleh fasilitas pembiayaan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad Bank Syariah dengan nasabah yang bersangkutan;
15. Dewan Syariah Nasional adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang memiliki kewenangan menetapkan hal yang terkait dengan aspek syariah antara lain fatwa tentang produk, jasa, dan kegiatan Bank Syariah.
16. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku;
17. Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku;
18. Deputi Gubernur Bank Indonesia adalah anggota dewan gubernur sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku;
19. Pihak terafiliasi adalah :
a. Anggota dewan komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank Syariah;
b. Anggota pengurus, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi Bank Syariah yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pihak yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
20. Merger adalah penggabungan dari dua Bank Syariah atau lebih atau antara bank syariah dengan bank umum konvensional, atau bank perkreditan rakyat, dengan tetap mempertahankan berdirinya salah satu Bank Syariah;
21. Konsolidasi adalah penggabungan dari dua Bank Syariah atau lebih atau antara bank syariah dengan bank umum konvensional, atau bank perkreditan rakyat, dengan cara mendirikan Bank Syariah baru;
22. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan oleh Bank Syariah terhadap suatu Bank Syariah atau bank umum konvensional, atau bank perkreditan rakyat;
23. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penitip dan titipannya.


BAB II
ASAS, FUNGSI, PRINSIP, DAN TUJUAN

Pasal 2

Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan keadilan, keterbukaan, kesetaraan, universalitas dan sesuai syariah.

Pasal 3

(1) Perbankan Syariah berfungsi sebagai penghimpun, penyalur, dan pengelola dana masyarakat serta pelaksana kegiatan dalam rangka kemaslahatan ekonomi masyarakat.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perbankan Syariah bersifat universal.

Pasal 4

(1) Perbankan Syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya menggunakan prinsip bagi hasil, penyertaan modal, jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan pemberian jasa pelayanan bank.
(2) Dalam menjalankan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.

Pasal 5

Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.


BAB III
JENIS, DAN USAHA BANK SYARIAH

Bagian Pertama
Jenis Bank Syariah

Pasal 6

(1) Menurut jenisnya Bank Syariah terdiri dari :
a. Bank Umum yang secara penuh menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah;
b. Bank Umum Konvensional yang memiliki Direktorat Usaha Syariah; dan
c. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
(2) Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan usaha dan/atau kegiatan tertentu dengan memberikan perhatian yang lebih besar kepada usaha dan/atau kegiatan tertentu.







Bagian Kedua
Usaha Bank Umum Syariah Dan Direktorat Usaha Syariah

Pasal 7

(1) Usaha Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah meliputi :
a. Produk-produk dan jasa yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
b. Kegiatan usaha bank lainnya yang lazim dilakukan Bank Umum Syariah sepanjang tidak bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional.
(2) Ketentuan perpajakan mengenai produk dan usaha Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah diperlakukan mengikuti ketentuan perpajakan jasa keuangan dan perbankan lainnya.

Pasal 8

Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah dilarang :
a. Melakukan segala bentuk transaksi yang bertentangan dengan prinsip syariah .
b. Melakukan kegiatan usaha tertentu yang telah dilarang oleh undang-undang yang berlaku.


Bagian Ketiga
Usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Pasal 9

(1) Usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi :
a. Produk-produk dan jasa yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
b. Kegiatan usaha bank lainnya yang lazim dilakukan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sepanjang tidak bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional.
(2) Ketentuan perpajakan mengenai produk dan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah diperlakukan mengikuti ketentuan perpajakan jasa keuangan dan perbankan lainnya.

Pasal 10

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang :
a. Melakukan segala bentuk transaksi yang bertentangan dengan prinsip syariah .
b. Melakukan kegiatan usaha tertentu yang telah dilarang oleh undang-undang yang berlaku.

Pasal 11

(1) Setiap Bank Syariah wajib menjamin dana dari masyarakat yang dititipkan pada Bank Syariah yang bersangkutan
(2) Untuk menjamin titipan dari masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan
(3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia
(4) Ketentuan mengenai penjaminan dana dan lembaga penjamin simpanan, diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.







BAB IV
PERIZINAN, BENTUK HUKUM DAN KEPEMILIKAN

Bagian Pertama
Perizinan

Pasal 12

(1) Berdirinya Bank Syariah wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum Syariah, Direktorat Usaha Syariah atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dari pimpinan Bank Indonesia.
(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum Syariah, Direktorat Usaha Syariah atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang :
a. Susunan organisasi dan kepengurusan;
b. Permodalan;
c. Kepemilikan;
d. Keahlian di bidang perbankan;
e. Kelayakan rencana kerja.
(3) Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 13

(1) Bank Umum Konvensional yang membuka kegiatan usaha syariah harus memiliki Direktorat Usaha Syariah.
(2) Direktorat Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimungkinkan membidangi divisi lain asalkan tidak bertentangan dengan kegiatan usaha syariah yang dijalankan.

Pasal 14

(1) Pembukaan kantor cabang oleh Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan Bank Indonesia.
(3) Pembukaan kantor di bawah kantor cabang oleh Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.
(4) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor oleh Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 15

(1) Pembukaan kantor cabang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan Bank Indonesia.
(2) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 16

(1) Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu Bank Syariah yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang di bawah kantor cabang pembantu dari bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(3) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Bagian Kedua
Bentuk Hukum

Pasal 17

(1) Bentuk hukum suatu Bank Syariah dapat berupa perseroan terbatas, perusahaan daerah dan koperasi;
(2) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.


Bagian Ketiga
Kepemilikan

Pasal 18

(1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan oleh :
a. Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
b. Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 19

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Badan Hukum Indonesia yang seluruh kepemilikannya oleh warga negara Indonesia; atau
c. Pemerintah Daerah.
d. Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.


Pasal 20

(1) Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang berbentuk hukum perseroan terbatas dan perusahaan daerah sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
(2) Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku.

Pasal 21

(1) Bank Umum Syariah dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek.
(2) Warga Negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan/atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum Syariah, baik secara langsung dan/atau melalui bursa efek.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22

Perubahan Kepemilikan Bank Syariah wajib :
a. Memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21; dan
b. Dilaporkan kepada Bank Indonesia.

Pasal 23

(1) Merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapat izin pimpinan Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan dengan peraturan pemerintah.





BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 24

(1) Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional.
(2) Bank Indonesia berperan melakukan pembinaan dan pengawasan pada Bank Syariah menyangkut aspek teknis perbankan syariah.
(3) Dewan Syariah Nasional berperan melakukan pembinaan dan pengawasan pada bank syariah menyangkut aspek syariah.

Pasal 25

(1) Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Syariah dipimpin oleh Deputi Gubernur atau Pejabat Setingkat Deputi Gubenur Bank Indonesia.
(2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank Indonesia mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku.

Pasal 26

(1) Pengangkatan keanggotaan Dewan Syariah Nasional dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia.
(2) Anggota Dewan Syariah Nasional wajib memiliki kompetensi di bidang syariah.
(3) Tata cara pemilihan dan penunjukan keanggotaan Dewan Syariah nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dan ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
(4) Dewan Syariah Nasional bertugas :
a. Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan perbankan pada khususnya.
b. Mengeluarkan fatwa atas produk, jasa dan kegiatan perbankan syariah.
c. Mengawasi fatwa atas produk, jasa dan kegiatan perbankan syariah.
(5) Dewan Syariah Nasional berwenang :
a. Melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap bank syariah melalui organ yang dibentuk, baik secara berkala atau setiap waktu apabila diperlukan.
b. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Bank Syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
c. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
e. Memberikan peringatan kepada Bank Syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
f. Mengusulkan kepada Bank Indonesia untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
(6) Pelaksanaan atas pembinaan dan pengawasan oleh Dewan Syariah Nasional dibiayai oleh Negara.

Pasal 27

(1) Bank Syariah wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan/atau Dewan Syariah Nasional.
(2) Bank Syariah atas permintaan Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh Bank Syariah yang bersangkutan.
(3) Keterangan tentang Bank Syariah yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.









BAB VI
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI DAN TENAGA ASING

Pasal 28

(1) Pengangkatan keanggotaan dewan komisaris dan direksi pada Bank Syariah, wajib melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Dewan Syariah Nasional.
(2) Perubahan keanggotaan dewan komisaris dan direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(3) Uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecualikan bagi Dewan Komisaris Bank Konvensional yang memiliki Direktorat Usaha Syariah.
(4) Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat menggunakan tenaga asing.
(5) Bagi tenaga asing di level manajemen Bank Syariah, wajib melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Dewan Syariah Nasional
(6) Persyaratan mengenai penggunaan tenaga asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan peraturan pemerintah


BAB VII
RAHASIA BANK

Pasal 29

(1) Bank Syariah wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penitip dan/atau nasabah investor beserta titipannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi.

Pasal 30

(1) Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan menteri keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank Syariah agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penitip dan/atau nasabah investor tertentu kepada pejabat pajak.
(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.

Pasal 31

(1) Untuk penyelesaian piutang Bank Syariah yang sudah diserahkan kepada badan urusan piutang dan lelang negara/panitia urusan piutang negara, pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat badan urusan piutang dan lelang negara/panitia urusan piutang negara untuk memperoleh keterangan dari Bank Syariah mengenai titipan nasabah pembiayaan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan dari kepala badan urusan piutang dan lelang negara/panitia urusan piutang negara.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat badan urusan piutang dan lelang negara/panitia urusan piutang negara, nama nasabah pembiayaan yang bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.



Pasal 32

(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari Bank Syariah mengenai titipan tersangka atau terdakwa pada bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari kepala kepolisian Republik Indonesia, jaksa agung, atau ketua mahkamah agung.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.

Pasal 33

Bank Syariah wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32.


Pasal 34

(1) Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi Bank Syariah dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
(2) Ketentuan mengenai tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.


Pasal 35

(1) Atas permintaan, persetujuan atau kuasa nasabah penitip dan/atau nasabah investor yang dibuat secara tertulis, Bank Syariah wajib memberikan keterangan mengenai titipan nasabah penitip pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penitip dan/atau investor tersebut.
(2) Dalam hal nasabah penitip dan/atau nasabah investor telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari nasabah penitip dan/atau nasabah investor yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai titipan nasabah penitip dan/atau nasabah investor tersebut.

Pasal 36

Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 34 berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.


BAB VIII
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 37

(1) Barangsiapa yang mendirikan Bank Syariah tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.


Pasal 38

(1) Barangsiapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32, dengan sengaja memaksa Bank Syariah atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 29 diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah).

Pasal 39

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurang 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000 (lima belas milyar rupiah).

Pasal 40

(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai Bank Syariah yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 2 (dua milyar rupiah).

Pasal 41

(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b. Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c. Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidanan penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai Bank Syariah yang dengan sengaja :
a. Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas pembiayaan dari Bank Syariah, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh Bank Syariah atas surat-surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana melebihi batas pembiayaannya pada Bank Syariah.
b. Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah terhadap ketentuan dalam undang-undang ini ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta sekurangnya Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah)

Pasal 42

Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank Syariah, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah).

Pasal 43

Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank Syariah, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).

Pasal 44

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (2) adalah pelanggaran.

Pasal 45

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 43, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada pihak terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut izin yang bersangkutan.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain adalah:
a. denda uang;
b. teguran tertulis;
c. penurunan tingkat ksehatan bank;
d. laraan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
f. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia
g. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
(3) Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh Bank Indonesia.


BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 46

Bank Syariah yang telah memiliki izin usaha pada saat undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 47

(1) Bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan unit usaha syariah pada bank konvensional tetap dapat melaksanakan kegiatan usahanya sebelum menyesuaikan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan unit usaha syariah pada bank konvensional wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam undang-undang ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya undang-undang ini.

Pasal 48

Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya undang-undang ini sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti, atau diperbaharui.


BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 49

Dengan berlakunya undang-undang ini maka :
Ketentuan yang terkait dengan bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dicabut dengan undang-undang ini.


Undang-undang ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





Disahkan Di Jakarta
Pada Tanggal __, __________, 200__
Presiden Republik Indonesia
Ttd

Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal __, ___________, 200__
Menteri Sekretaris Negara
Ttd



Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200__
Nomor ____

STANDAR AKUNTANSI PERBANKAN SYARIAH

MENYAMBUT
STANDAR AKUNTANSI PERBANKAN SYARIAH

Dr Sofyan S Harahap
Universitas Trisakti


1. PENGANTAR

Pada 1 Mei 2002 secara resmi IAI telah menelorkan PSAK No 59. Standar ini perlu disambut dengan gembira karena merupakan salah satu instrumen pendukung perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Bank Syariah pertama mulai beroperasi resmi pada 1 Mei 1992. Keberadaan Bank Syariah ini setelah beberapa tahun kemudian disambut hangat dengan lahirnya beberapa bank lain. Menurut data BI memang pangsa pasar Bank Syariah ini masih relatif kecil sekitar 0,025%, dengan indikator (Juni 2002) lain:

Total asset : Rp. 2.81 trilyun 0,18 % dari Total asset perbankan nasional
Pembiayaan : Rp. 2,74 trilyun 0,50 % dari Total pembiayaan perbankan nasional
Pendanaan : Rp. 2,08 trilyun
Modal : Rp. 5,456 trilyun
Bank : 2 Bank umum, 4 Bank dengan Unit Syariah dengan kantor sebanyak
176 cabang dan 81 BPRS.

Dari antusiasme masyarakat diramalkan pangsa dan peran bank syariah ini akan semakin meningkat. Keadaan ini berlaku juga di Malaysia dan di tingkat Internasional.

Terlepas dari kualitas dan kesempurnaannya, PSAK 59 ini perlu kita puji dan sokong. Karena kedua standar ini sangat perlu untuk mempercepat perkembangan bank syariah di negeri ini. Standar ini banyak mengadopsi kerangka dan standar yang dikeluarkan oleh Accounting and Auditing Organizations for Islamic Financial Instirutions (AAOIFI, 1998) yang berpusat di Bahrain. Sikap ini menjadi plus lagi karena hal ini akan menuju standar yang sesuai dengan konsep internasional sehingga harmonisasi standar akuntansi bank syariah didunia Islam bisa terwujud.

Kalau kita kaji lebih dalam kedua standar ini masih beranjak dari kerangka akuntansi konvensional. Hal ini lumrah karena disiplin akuntansi Islam sebagai ilmu belum “terwujud” sehingga berbagai paradigma masih tetap menggunakan konsep konvensional yang belum sepenuhnya seirama dengan sifat dan nilai nilai syariat yang kita yakini. Reaksi sebahagian praktisi perbankan tentang prinsip “accrual basis” misalnya merupakan ekses dari dual sistem ini.

2. Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan

Kerangka dasar ini adalah menyajikan konsep yang mendasari penyusunan laporan keuangan bagi bank syariah. Memang kerangka ini sangat dangkal sekali dan tidak cukup dijadikan dasar sebagai kerangka yang kuat untuk melahirkan bangunan standar yang komprehensif. Adapun isinya dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Perbedaan antara bank konvensional dan syariah
b. Para pemakai: investasi pemilik, pembayar zakat dan dewan pengawas syariah.
c. Tujuan akuntansi keuangan menentukan hak dan kewajiban pihak terkait termasuk atas transaksi yang belum selesai, memberikan informasi untuk pengambilan keputusan, dan tentang kepatuhan terhadap prinsip syariah.
d. Tujuan laporan keuangan menyajikan informasi tentang kepatuhan bank terhadap syariah, mengevaluasi sejauhmana tanggungjawab bank terhadap amanah dalam mengelola berbagai dana, mengenai fungsi sosial bank termasuk penyaluran zakat.
e. Asumsi dasar yang dipakai, pada umumnya adalah dasar akrual kecuali dalam hal perhitungan pendapatan untuk tujuan bagi hasil menggunakan dasar kas. Point ini yang belakangan menjadi polemik yang sebenarnya disebabkan karena ketidak tahuan

3. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

a. Pengakuan dan pengukuran

Pengakuan dan pengukuran masing masing produk: mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisha’, ijarah, wadiah, qardh, dan transaksi berbasis imbalan diatur. Masing masing jenis produk bank ini bisa berbeda beda dan sangat tergantung pada sifatnya.

b. Penyajian laporan keuangan

Bebagai jenis laporan yang harus disajikan bank syariah adalah:

1. Neraca
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan perubahan dana Investasi terikat
4. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq dan Shadaqah
5. Laporan Sumber dan Penggunaan Alqardh

Laporan 3 terakhir adalah khas bank syariah. Laporan ini harus disajikan sesuai dengan konsep “full disclosure” dengan menjelaskan semua jenis pembiayaan yang ada, dana atau investasi yang diterima serta sifat, hak, periode, bagi hasil yang berkaitan dengan produk tersebut.

c. Pengungkapan
Laporan bank syariah harus mengungkapkan informasi umum mengenai bank syariah dan informasi tambahan:

a. Karakteristik kegiatan bank dan jasa yang diberikan
b. Tugas dan kewenangan Dewan Pengawas Syariah
c. Tanggungjawab bank terhadap pengelolaan zakat
d. Kebijakan akuntansi, pengakuan pendapatan, penyisihan kerugian aktiva produktif, dan konsolidasi laporan keuangan
e. Transaksi yang dilarang syariah dan menyelesaikannya.
f. Dana yang tidak terikat
g. Aktiva produktif (jenis, sektor, jumlah, yang menyangktu hubungan istimewa, kedudukan bank, bagi hasil, klassifikasi, penyisihan kerugian, aktiva prosuktif bermasalah)

Ketentuan masing masing Laporan:

1. Neraca mengungkapkan jumlah, jenis pembiayaan, syarat dan penyisihan kerugian
2. Laba Rugi mengungkapkan pendapatan, beban, keuntungan, kerugian dan bagian bank menurut jenis transaksi.
3. Perubahan dana Investasi terikat: periode laporan, saldo, keuntungan/kerugian dan saldo akhir, sifat hubungan bank, hak dan kewajiban.
4. Sumber dan Penggunaan Dana ZIS: periode, dasar penentuan zakat, jumlah yang diterima/disalurkan, saldo.
5. Sumber dan Penggunaan Alqardh Hasan: periode, jumlah, penyaluran, penerimaan dan saldo.

Melihat isi dan penjelasan ini maka dapat disimpulkan bahwa sebaiknya kedua PSAK ini harus dianggap sebagai suatu konsep temporer yang mesti disempurnakan nantinya setelah kerangka Akuntansi Islam yang “established” lahir dari ideologi, masyarakat, sistem ekonomi dan Akuntansi yang Islami. Sebagaimana teori Colonial Model yang dikemukakan oleh Gambling dan Karim.

PSAK ini akan dijabarkan lagi dalam bentuk PAPI Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia yang saat ini sedang dirumuskan. Didalam BI sendiri sedang dipersiapkan format pelaporan Bank Syariah yang sangat perlu bagi semua bangk syariah dan BI dalam pembinaan, pengawasan dan data moneter ekonomi dan perbankan di Indonesia. Lanjutan dari PSAK ini adalah Penyusun Pedoman Auditing untuk Perbankan Syariah yang saat ini sedang bekerja.

PENUTUP

Praktisi perbankan diharapkan menerapkannya dulu PSAK ini dan para akademisi terus berfikir untuk melengkapi perangkat Akuntansi Islam ini sehingga benar merupakan derivasi dari syariat itu sendiri, yang dijabarkan dalam konsep hidup, konsep sosial, konsep ekonomi, dan akhirnya konsep bisnis dan konsep akuntansi syariah yang komprehensif. Semoga PSAK ini ini bisa menjadi awal untuk mencari dan merumuskan suatu standar yang memang konsisten dengan nilai nilai Islam.

Al-Qur’an dan Hadits tentang ekonomi syariah

Al-Qur’an dan Hadits tentang ekonomi syariah

I. Al-Qur’an

1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”. (sempurnakan satu ayat!!!)

2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 282:
"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...". (cukup)

3. Firman Allah QS. Shad [38]: 24:
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."

4. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:
“…dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (sempurnakan/lengkapkan satu ayat!!!) ).

5. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 278 – 279:
“Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang beriman ……. “……. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya ” (lengkapi jika blm lengkap 2 ayat!!!)

6. Firman Allah QS. al-Hasyr [59]: 18
“Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

7. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamiu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil…” (QS. an-Nisa [4]: 58).

8. “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah [2]: 280)

9. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah [5]: 2)


II. Hadits

1. “Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

2. “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

3. Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).

4. “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah

5. “Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir)

6. “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)

Antara ekonomi konvensional (Sistem ekonomi pasar) dan ekonomi syariah

Antara ekonomi konvensional (Sistem ekonomi pasar) dan ekonomi syariah
Ekonomi merupakan kegiatan sosial masyarakat. Dalam perkembangannya kegiatan ekonomi mengalami perubahan-perubahan dari jaman dahulu sampai sekarang. Salah satu perubahan yang muncul sebuah istilah ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang cukup substansif.ekonomi konvensional merupakan sistem yang berlaku secara umum dilakukan oleh masyarakat didunia sedangkan ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang berlandsaskan prinsip-prinsip syariah.
Ekonomi konvensional yang berlaku sekarang tidak lepas unsur-unsur ketidakjelasan yang merugikan salah satu pihak, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Seseorang memperoleh kemakmuran diatas kesengsaran orang lain. Moral dan etika yang dipakai adalah semata-mata bagaimana mendapatkan keuntungan pribadi.
Ketidakmampuan dalam mengelola ekspektasi tindakan-tindakan yang akan diambil spekulan mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi. Untuk mengendalikan aksi spekulan dan mengatasi krisis, perlu orang-orang yang memahami cara bekerja sistem ekonomi pasar yang ada. Ketersediaan orang tersebut merupakan necessary condition. Ini amat penting untuk mencegah krisis ekonomi yang bekepanjangan.

AkarPermasalahan
Apa sebenarnya inti masalah sehingga krisis merupakan bagian nyata perjalanan sistem pasar? Sistem pasar pertama kali dikembangkan oleh Adam Smith. Ia mengajarkan bahwa segala aktivitas ekonomi dilakukan melalui pasar. Tujuannnya membahagiakan inidividu-individu sebagai pelaku ekonomi. Sistem ini dapat bekerja karena adanya mekanisme invisible hands.
Di sini, individu dikenal sebagai homo economicus, yaitu pelaku ekonomi yang mencari keuntungan bagi dirinya tanpa mengindahkan kepentingan orang lain. Istilah yang terkenal untuk hal ini adalah kompetisi. Kompetisi yang semula diharapkan menghasilkan efisiensi ternyata tak selalu berhasil. Sebaliknya, kadang menimbulkan dampak negatif yang banyak kita kenal sekarang.
Akibat kompetisi, 'kebahagiaan sosial' atau `kebahagian masyarakat' banyak terganggu bahkan tidak tercapai. Contohnya, pincangnya pendapatan baik nasional maupun internasional. Usaha untuk mengurangi disparitas pendapatan sangat sulit dilakukan.
Saat ini, kita secara nasional sedang sibuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan belum sepenuhnya mencurahkan perhatian terhadap usaha yang berkaitan dengan pembagian pendapatan. Secara internasional, terlihat bahwa tindakan ekonomi yang ada lebih bertujuan meningkatkan kekayaan satu negara tanpa memperhatikan apa yang terjadi pada negara lain.
Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa pembagian pendapatan akan membaik seiring dengan meningkatnya kekayaan yang terjadi pada suatu negara. Tapi apakah hal ini juga akan terjadi secara internasional? Akibat negatif lainnya adalah krisis ekonomi yang dialami oleh perekonomi Indonesia atau dunia dewasa ini. Aksi spekulasi demi keuntungan segelintir orang telah mengganggu kehidupan sosial dan masyarakat pada suatu negara.
Perang di Irak pun diduga mempunyai latar belakang ekonomi. Berbagai kebijakan ekonomi internasional menunjukkan bagaimana negara-negara kaya tidak mau berbagi dengan negara miskin. Tingginya utang negara berkembang terhadap negara maju menunjukkan minimnya rasa kebersamaan negara maju dalam membantu mengatasi berbagai masalah di negara berkembang. Bantuan negara maju untuk negara berkembang dapat dianalisis dari sudut pandang kepentingan negara maju itu sendiri.

Solusi
Lalu apa yang dapat dilakukan untuk mengantisipsi berbagai krisis yang selalu menyertai perjalanan sistem pasar? Paling tidak perlu orang yang memahami jalannya sistem pasar itu secara baik. Di negara maju saja perlu banyak ahli, termasuk peraih nobel ekonomi, untuk memahami berbagai dimensi dari sistem pasar yang ada.
Walaupun demikian, kita melihat bahwa krisis selalu saja menyertai jalannya sistem pasar yang ada. Bila begitu, kita harus mempertimbangkan sistem baru selain sistem pasar yaitu sistem ekonomi Islami. Sistem ini sekarang sedang digodok dan dikembangkan oleh para ahli, untuk kepentingan sosial atau masyarakat yang selaras dan harmonis dengan kepentingan individu.
Tegasnya, dalam ekonomi Islam, kepentingan individu harus diselaraskan dengan kepentingan masyarakat. Keseimbangan kepentingan masyarakat dan individu ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta semesta. Oleh karena itu, penting bagi umat manusia untuk mengembangkan sistem ekonomi yang tidak menimbulkan krisis karena ulah para spekulan.