WAKAF SEBAGAI KEKHUSUSAN UMAT ISLAM
الأوقاف كخصيصة من خصائص الأمة الإسلامية
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.
PT SYARIKAT TAKAFUL INDONESIA
JAKARTA 5 NOVEMBER 2004
WAKAF SEBAGAI KEKHUSUSAN UMAT ISLAM
الأوقاف كخصيصة من خصائص الأمة الإسلامية
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.
Muqadimah
Islam merupakan Al-Din AL-Syamil yang ajarannya mencakup segenap aspek kehidupan manusia, dari mulai yang terkecil hingga yang besar. Disamping itu, ajaran Islam juga memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan agama-agama lainnya, yaitu adanya unsur Ta’awun dan Takaful Ijtima’I (Baca; tolong menolong dan saling peduli sesama penganutnya). Oleh karena itu kita melihat banyak sekali ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan muamalah, selalu ada unsur “pemeliharaan” terhadap hak-hak orang lain yang terkait dengan subyek atau pelaku muamalah tersebut, baik obyek, syahid, wakil dan lain sebagainya. Dan salah satu ajaran Islam yang menarik dalam masalah muamalah adalah masalah wakaf.
Imam Nawawi ketika mengomentari tentang wakaf, beliau mengemukakan bahwa wakaf merupakan sesuatu yang secara khusus hanya dimiliki oleh kaum muslimin (Al-Zuhaily, 1996 :VIII/ 157) :
وهو مما اختص به المسلمون
Komentar ini bahkan juga menguatkan komentar para A’immah lainnya, seperti Imam Syafi’I yang mengatakan, ‘aku tidak mengetahui adanya ahlul jahiliyah yang mewakafkan rumah atau tanahnya.” (Al-Zuhaily, 1996 : VIII/ 157) :
لم يحبس أهل الجاهلية دارا ولا أرضا فيما علمت
Selain komentar dua Imam besar tersebut, sesungguhnya masih banyak komentar-komentar para A’immah lainnya mengenai permasalahan wakaf ini. Namun pada intinya, wakaf merupakan sebuah perbuatan kebaikan yang sangat dianjurkan dalam Islam , untuk mengharapkan balasan semata-mata dari Allah SWT. Dan di sisi yang lain wakaf juga sangat bermanfaat untuk memberdayakan umat dalam segela aspeknya; pendidikan, kesehatan, ketrampilan, sarana ibadah dan sosial dan lain sebagainya. Untuk itulah perlu adanya penanganan yang baik da profesional dalam pengelolaan dana zakat umat.
Definisi Wakaf.
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berasal dari kata waqf ( وقف ) yang memiliki beberapa arti, diantaranya :( رديئة ) terkembalikan, ( التحبيس ) tertahan, ( التسبيل ) tertawan dan ( المنع ) Mencegah. Karena harta yang diwakafkan itu, asli dari harta tersebut harus tertahan, artinya tidak boleh habis dikonsumsi.
Adapun dari segi istilahnya, wakaf memiliki beberapa definisi yang beragam, namun terdapat definisi yang umum, yaitu : ‘menahan suatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan untuk jalan kebaikan.’ (Suhendi, 2002 : 240). Atau definisi dari segi istilah arabnya yang masyhur digunakan adalah sebagaimana yang dikemuakan oleh Al-Zuhaily (1996 : VIII/ 154) :
حبس مال يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته من الواقف وغيره، على مصرف مباح موجود
“Menahan harta yang dimungkinkan untuk dimanfaatkan dengan tetap membiarkan zat bendanya kekal, dengan memutuskan hak tasharruf (dari wakif) dan (diberikan hak pengelolaannya) kepada Mushorrif yang diperbolehkan keberadaannya.’
Namun pada intinya zakat itu merupakan “pemindahan” kepemilikian seseorang terhadap suatu harta, dari miliki dirinya menjadi miliki Allah SWT, untuk digunakan dalam hal-hal yang bersifat kebajikan untuk kemaslahatan umat. Dan orang yang mewakafkan hartanya tersebut akan menikmati “manfaat wakaf” hingga akhir zaman, karena apa yang diwakafkannya tersebut menjadi shadaqah jariyah sebagaimana yang digambarkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila manusia telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya akan terputus dari dirinya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim)
Selain definisi di atas, juga terdapat definisi yang digunakan oleh Dompet Dhuafa, yang lebih mudah untuk difahami, yaitu Waqaf adalah menahan asli harta dan mendermakan hasilnya di jalan Allah. Diberikan seseorang, keluarga, atau kelompok masyarakat secara permanen untuk kepentingan umum, masyarakat, dan bermanfaat lebih bagi dhuafa.
Waqaf bisa berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang dapat digunakan terus-menerus oleh masyarakat sesuai koridor syariah. Harta tersebut tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Waqaf memiliki makna shadaqah jariyah yang pahalanya akan terus-menerus mengalir ke muwaqqif (yang berwaqaf) meskipun sudah meninggal dunia.
Legalitas Wakaf Secara Syar’i
Jumhur ulama (kecuali Hanafiyah) mengemukakan bahwa wakaf merupakan perbuatan sunnah yang dianjurkan. Karena wakaf merupakan “Tabarru’ (pemberian yang dimotivasi oleh syariat). (Al-Zuhaily, 1996 : VIII/ 156). Diantara dalil-dalil yang menganjurkan wakaf adalah antara lain :
1. QS. Ali Imran/ 3 : 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
2. QS. Al-Baqarah/ 2 : 267
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”
3. Hadits Riwayat Bukhari (Kitab Asyurut, Bab Asyurut Fil Waqf)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّل (رواه البخاري)
Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Umar bin Khatab mendapatkan satu bidang tanah di Khaibar. Lalu beliau mendatangi Rasulullah SAW untuk meminta pendapatnya dalam masalah ini. Umar berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan tanah di Khaibar yang aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga dari pada harta ini. Maka berikanlah pendapatmu tentang tanah ini.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Jika engkau mau maka sedekahkanlah (baca ; wakafkanlah) pokoknya dan bershadaqahlah dengan (hasil)nya. Kemudian Umar mewakafkan tanah tersebut, (dengan syarat) bahwa tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh diberikan dan tidak boleh diwariskan. Maka Umar mewakafkannya pada fakir miskin, kerabat dekat, untuk memerdekakan budak, fi sabilillah, ibnu sabil dan juga tamu. Dan tidak mengapa bagi orang yang mengurusinya untuk memakan dan memberi makan daripadanya dengan cara yang baik, dan tidak untuk mengumpulkan harta. (HR. Bukhari)
4. Hadits Riwayat Bukhari (Kitab Al-Washaya, Bab Waqf Al-Ardh Lil Masjid)
عَنْ أَنَسٍ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَقَالَ يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا قَالُوا لاَ وَاللَّهِ لاَ نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلاَّ إِلَى اللَّهِ (رواه البخاري)
Dari Anas bin Malik ra, bahwasanya ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah beliau memirintahkan untuk membangun masjid. Kemudian beliau berkata, ‘Wahai Bani Najar, hargakanlah (juallah) dinding-dinding kalian ini.’ Lalu mereka menjawab, ‘Demi Allah Kami tidak menginginkan harganya, kecuali hanya (menginginkan) keridhaan Allah SWT.” (HR. Bukhari)
5. Hadits Riwayat Muslim (Kitab Zakat Bab Fadhl Nafaqah Was Shadaqah)
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ أَنْصَارِيٍّ بِالْمَدِينَةِ مَالاً وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرَحَى وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ قَالَ أَنَسٌ فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرَحَى وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ شِئْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيهَا وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي اْلأَقْرَبِينَ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ (رواه مسلم)
Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Abu Thalhah merupakan sahabat Anshar yang paling banyak hartanya. Dan harta yang paling disukainya adalah “Bairaha”, (yaitu sebuah tanah) yang menghadap ke Masjid. Dan Rasulullah SAW terkadang memasukinya dan meminum air daripadanya yang baik. Anas berkata, ketika ayat ini turun, (QS. 3 : 92) ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.’ Mendengar ayat ini Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah berfirman dalam Al-Qur’an, ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.’ Dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha’. Dan aku menjadikannya shadaqoh (wakaf) dengan mengharap kebaikannya dan pahalanya di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, bagikanlah wahai Rasulullah SAW sekehendak engkau.’ Rasulullah SAW bersabda, Sungguh ini merupakan harta yang beruntung, ini merupakan harta yang beruntung, dan aku telah mendengar apa yang engkau ucapkan. Aku melihat bahwa lebih baik engkau membagikannya kepada kerabat dekat.’ Lalu Abu Thalhah membagikannya pada kerabat dekatnya dan anak-anak pamannya. (HR. Muslim)
Selain ayat dan hadits-hadits di atas, juga masih terdapat dalil-dalil lainnya yang memotivasi umat untuk berwakaf. Hanya perlu digaris bawahi bahwa para sahabat tidak satupun yang memiliki kemampuan, melainkan mereka berwakaf, sebagaimana dikemukakan oleh Jabir ra. Oleh karena itulah, perlu sosialisasi zakat ke umat agar mereka juga termotivasi untuk mewakafkan sebagian wakafnya. Disamping itu, Lembaga-Lembaga Keuangan Syariah juga perlu memfasilitasi wakaf dari umat. Dan Alhamdulillah Takaful mempelopori dengan meluncurkan produk Takaful Dana Wakaf (Fulwakaf), yaitu produk wakaf dalam bentuk asuransi.
Beberapa Ketentuan Fiqhiyah Dalam Wakaf
Wakaf memiliki beberapa ketentuan-ketentuan yang mencakup syarat-syarat dan rukun-rukun serta hal-hal yang berkaitan dengan wakif (pemberi wakaf), mauquf (harta yang diwakafkan), mauquf alaih (tujuan atau peruntukan wakaf) dan shighatul waqf (pernyataan wakaf). Atau juga hal-hal lainnya.
Adapun rukun wakaf, jumhur ulama mengatakannya ada empat, yaitu (1) Wakif ; Orang yang memberikan wakaf, (2) mauquf (harta yang diwakafkan), (3) mauquf alaih (tujuan atau peruntukan wakaf) dan (4) shighatul waqf (pernyataan wakaf) . Dibawah rukun-rukun ini terdapat beberapa syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun tersebut. Diantara syarat-syaratnya adalah :
• Syarat-syarat yang berkaitan dengan wakif adalah bahwa wakif harus mempunyai kecakapan melakukan tabarru’, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi. Diantara sifatnya yaitu orang yang baligh, berakal sehat dan tidak terpaksa.
• Syarat yang berkaitan dengan mauquf adalah bahwa harta yang diwakafkan tersebut harus merupakan barang yang bernilai, dimiliki oleh wakif dan tahan lama untuk digunakan.
• Syarat yang berkaitan dengan mauquf alaih adalah bahwa tujuan wakaf itu harus tidak bertentangan dengan nilai-nilai ibadah.
• Syarat-syarat yang berkaitan dengan shigah adalah bahwa wakaf disighahkan, baik dengan lisan, tulisan maupun isyarat.
Wakaf Tunai
Dewasa ini muncul pengertian wakaf tunai di kalangan masyarakat kita. Dari satu sisi, wakaf tunai ini memilki fungsi yang lebih maksimal dibandingkan dengan wakaf tanah atau wakaf bangunan misalnya. Karena wakaf tunai dapat diperuntukkan apa saja berdasarkan skala prioritas yang dibutuhkan umat. Namun di sisi yang lain, jika dicermati dari beberapa kitab klasik, akan dijumpai perdebatan dikalangan ulama mengenai wakaf tunai ini. Meskipun penulis melihat bahwa sebagian ulama yang melarangnya karena melihat bahwa uang tersebut akan habis bila dimanfaatkan. Sementara uang dapat digunakan untuk investasi misalnya, yang kemudian profit dari investasi tersebut dapat gunakan untuk kebaikan, baik untuk fakir miskin, sarana kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Sehingga tidak ada masalah jika “uang tunai” yang diwakafkan tersebut tidak habis dikonsumsi.
Dalam istilah arabnya, wakaf tunai adalah ( وقف النقود ) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi cash wakaf. Lalu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indoesia dengan dua istilah, pertama wakaf tunai, dan kedua wakaf uang. Namun penulis berkeyakinan bahwa kedua istilah ini mengacu pada istilah arab yang satu, yaitu waqfun nuqud.
Sedangkan dari segi istilahnya Wakaf Tunai adalah : “Penyerahan hak milik berupa uang tunai kepada seseorang atau lembaga nadzir (pengelola waqaf). Ketentuan, hasil, dan manfaatnya digunakan untuk amal kebajikan sesuai dengan syariat Islam, dengan tidak mengurangi atau menghilangkan jumlah pokoknya.”
Pemanfaatan Wakaf Tunai
Sedangkan dari segi pemanfaatannya, Waqaf Tunai dapat digunakan untuk menghidupkan waqaf-waqaf non tunai (tanah, bangunan) menjadi waqaf-waqaf non tunial lainnya seperti rumah sakit, sekolah, gedung perkantoran, dan lain-lain. Atau dapat digunakan berdasarkan hajat (baca; prioritas kebutuhan) yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Bahkan penggunaan dana wakaf ini begitu fleksibel hingga pada pemberdayaan ekonomi umat baik secara makro maupun mikro, mengentaskan kemiskinan, pembiayaan UKM, beasiswa, saranan pendidikan atau apa saja dalam rangka untuk meningkatkan kualitas umat secara menyeluruh.
Adapun frame yang tidak diperbolehkan penggunaan dana wakaf tunai ini (bahkan juga segala jenis wakaf) adalah pada hal-hal yang bertentangan dengan Syariah Islam. Seperti untuk membangun gereja, mewakafkan buku-buku yang mengajak pada kekafiran dan ingkar kepada Allah SWT, perjudian, perbuatan maksiat dan lain sebagainya.
Wallahu A’lam Bis Shawab
الأوقاف كخصيصة من خصائص الأمة الإسلامية
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.
PT SYARIKAT TAKAFUL INDONESIA
JAKARTA 5 NOVEMBER 2004
WAKAF SEBAGAI KEKHUSUSAN UMAT ISLAM
الأوقاف كخصيصة من خصائص الأمة الإسلامية
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.
Muqadimah
Islam merupakan Al-Din AL-Syamil yang ajarannya mencakup segenap aspek kehidupan manusia, dari mulai yang terkecil hingga yang besar. Disamping itu, ajaran Islam juga memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan agama-agama lainnya, yaitu adanya unsur Ta’awun dan Takaful Ijtima’I (Baca; tolong menolong dan saling peduli sesama penganutnya). Oleh karena itu kita melihat banyak sekali ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan muamalah, selalu ada unsur “pemeliharaan” terhadap hak-hak orang lain yang terkait dengan subyek atau pelaku muamalah tersebut, baik obyek, syahid, wakil dan lain sebagainya. Dan salah satu ajaran Islam yang menarik dalam masalah muamalah adalah masalah wakaf.
Imam Nawawi ketika mengomentari tentang wakaf, beliau mengemukakan bahwa wakaf merupakan sesuatu yang secara khusus hanya dimiliki oleh kaum muslimin (Al-Zuhaily, 1996 :VIII/ 157) :
وهو مما اختص به المسلمون
Komentar ini bahkan juga menguatkan komentar para A’immah lainnya, seperti Imam Syafi’I yang mengatakan, ‘aku tidak mengetahui adanya ahlul jahiliyah yang mewakafkan rumah atau tanahnya.” (Al-Zuhaily, 1996 : VIII/ 157) :
لم يحبس أهل الجاهلية دارا ولا أرضا فيما علمت
Selain komentar dua Imam besar tersebut, sesungguhnya masih banyak komentar-komentar para A’immah lainnya mengenai permasalahan wakaf ini. Namun pada intinya, wakaf merupakan sebuah perbuatan kebaikan yang sangat dianjurkan dalam Islam , untuk mengharapkan balasan semata-mata dari Allah SWT. Dan di sisi yang lain wakaf juga sangat bermanfaat untuk memberdayakan umat dalam segela aspeknya; pendidikan, kesehatan, ketrampilan, sarana ibadah dan sosial dan lain sebagainya. Untuk itulah perlu adanya penanganan yang baik da profesional dalam pengelolaan dana zakat umat.
Definisi Wakaf.
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berasal dari kata waqf ( وقف ) yang memiliki beberapa arti, diantaranya :( رديئة ) terkembalikan, ( التحبيس ) tertahan, ( التسبيل ) tertawan dan ( المنع ) Mencegah. Karena harta yang diwakafkan itu, asli dari harta tersebut harus tertahan, artinya tidak boleh habis dikonsumsi.
Adapun dari segi istilahnya, wakaf memiliki beberapa definisi yang beragam, namun terdapat definisi yang umum, yaitu : ‘menahan suatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan untuk jalan kebaikan.’ (Suhendi, 2002 : 240). Atau definisi dari segi istilah arabnya yang masyhur digunakan adalah sebagaimana yang dikemuakan oleh Al-Zuhaily (1996 : VIII/ 154) :
حبس مال يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته من الواقف وغيره، على مصرف مباح موجود
“Menahan harta yang dimungkinkan untuk dimanfaatkan dengan tetap membiarkan zat bendanya kekal, dengan memutuskan hak tasharruf (dari wakif) dan (diberikan hak pengelolaannya) kepada Mushorrif yang diperbolehkan keberadaannya.’
Namun pada intinya zakat itu merupakan “pemindahan” kepemilikian seseorang terhadap suatu harta, dari miliki dirinya menjadi miliki Allah SWT, untuk digunakan dalam hal-hal yang bersifat kebajikan untuk kemaslahatan umat. Dan orang yang mewakafkan hartanya tersebut akan menikmati “manfaat wakaf” hingga akhir zaman, karena apa yang diwakafkannya tersebut menjadi shadaqah jariyah sebagaimana yang digambarkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila manusia telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya akan terputus dari dirinya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim)
Selain definisi di atas, juga terdapat definisi yang digunakan oleh Dompet Dhuafa, yang lebih mudah untuk difahami, yaitu Waqaf adalah menahan asli harta dan mendermakan hasilnya di jalan Allah. Diberikan seseorang, keluarga, atau kelompok masyarakat secara permanen untuk kepentingan umum, masyarakat, dan bermanfaat lebih bagi dhuafa.
Waqaf bisa berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang dapat digunakan terus-menerus oleh masyarakat sesuai koridor syariah. Harta tersebut tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Waqaf memiliki makna shadaqah jariyah yang pahalanya akan terus-menerus mengalir ke muwaqqif (yang berwaqaf) meskipun sudah meninggal dunia.
Legalitas Wakaf Secara Syar’i
Jumhur ulama (kecuali Hanafiyah) mengemukakan bahwa wakaf merupakan perbuatan sunnah yang dianjurkan. Karena wakaf merupakan “Tabarru’ (pemberian yang dimotivasi oleh syariat). (Al-Zuhaily, 1996 : VIII/ 156). Diantara dalil-dalil yang menganjurkan wakaf adalah antara lain :
1. QS. Ali Imran/ 3 : 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
2. QS. Al-Baqarah/ 2 : 267
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”
3. Hadits Riwayat Bukhari (Kitab Asyurut, Bab Asyurut Fil Waqf)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّل (رواه البخاري)
Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Umar bin Khatab mendapatkan satu bidang tanah di Khaibar. Lalu beliau mendatangi Rasulullah SAW untuk meminta pendapatnya dalam masalah ini. Umar berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan tanah di Khaibar yang aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga dari pada harta ini. Maka berikanlah pendapatmu tentang tanah ini.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Jika engkau mau maka sedekahkanlah (baca ; wakafkanlah) pokoknya dan bershadaqahlah dengan (hasil)nya. Kemudian Umar mewakafkan tanah tersebut, (dengan syarat) bahwa tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh diberikan dan tidak boleh diwariskan. Maka Umar mewakafkannya pada fakir miskin, kerabat dekat, untuk memerdekakan budak, fi sabilillah, ibnu sabil dan juga tamu. Dan tidak mengapa bagi orang yang mengurusinya untuk memakan dan memberi makan daripadanya dengan cara yang baik, dan tidak untuk mengumpulkan harta. (HR. Bukhari)
4. Hadits Riwayat Bukhari (Kitab Al-Washaya, Bab Waqf Al-Ardh Lil Masjid)
عَنْ أَنَسٍ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَقَالَ يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا قَالُوا لاَ وَاللَّهِ لاَ نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلاَّ إِلَى اللَّهِ (رواه البخاري)
Dari Anas bin Malik ra, bahwasanya ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah beliau memirintahkan untuk membangun masjid. Kemudian beliau berkata, ‘Wahai Bani Najar, hargakanlah (juallah) dinding-dinding kalian ini.’ Lalu mereka menjawab, ‘Demi Allah Kami tidak menginginkan harganya, kecuali hanya (menginginkan) keridhaan Allah SWT.” (HR. Bukhari)
5. Hadits Riwayat Muslim (Kitab Zakat Bab Fadhl Nafaqah Was Shadaqah)
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ أَنْصَارِيٍّ بِالْمَدِينَةِ مَالاً وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرَحَى وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ قَالَ أَنَسٌ فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرَحَى وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ شِئْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيهَا وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي اْلأَقْرَبِينَ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ (رواه مسلم)
Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Abu Thalhah merupakan sahabat Anshar yang paling banyak hartanya. Dan harta yang paling disukainya adalah “Bairaha”, (yaitu sebuah tanah) yang menghadap ke Masjid. Dan Rasulullah SAW terkadang memasukinya dan meminum air daripadanya yang baik. Anas berkata, ketika ayat ini turun, (QS. 3 : 92) ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.’ Mendengar ayat ini Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah berfirman dalam Al-Qur’an, ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.’ Dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha’. Dan aku menjadikannya shadaqoh (wakaf) dengan mengharap kebaikannya dan pahalanya di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, bagikanlah wahai Rasulullah SAW sekehendak engkau.’ Rasulullah SAW bersabda, Sungguh ini merupakan harta yang beruntung, ini merupakan harta yang beruntung, dan aku telah mendengar apa yang engkau ucapkan. Aku melihat bahwa lebih baik engkau membagikannya kepada kerabat dekat.’ Lalu Abu Thalhah membagikannya pada kerabat dekatnya dan anak-anak pamannya. (HR. Muslim)
Selain ayat dan hadits-hadits di atas, juga masih terdapat dalil-dalil lainnya yang memotivasi umat untuk berwakaf. Hanya perlu digaris bawahi bahwa para sahabat tidak satupun yang memiliki kemampuan, melainkan mereka berwakaf, sebagaimana dikemukakan oleh Jabir ra. Oleh karena itulah, perlu sosialisasi zakat ke umat agar mereka juga termotivasi untuk mewakafkan sebagian wakafnya. Disamping itu, Lembaga-Lembaga Keuangan Syariah juga perlu memfasilitasi wakaf dari umat. Dan Alhamdulillah Takaful mempelopori dengan meluncurkan produk Takaful Dana Wakaf (Fulwakaf), yaitu produk wakaf dalam bentuk asuransi.
Beberapa Ketentuan Fiqhiyah Dalam Wakaf
Wakaf memiliki beberapa ketentuan-ketentuan yang mencakup syarat-syarat dan rukun-rukun serta hal-hal yang berkaitan dengan wakif (pemberi wakaf), mauquf (harta yang diwakafkan), mauquf alaih (tujuan atau peruntukan wakaf) dan shighatul waqf (pernyataan wakaf). Atau juga hal-hal lainnya.
Adapun rukun wakaf, jumhur ulama mengatakannya ada empat, yaitu (1) Wakif ; Orang yang memberikan wakaf, (2) mauquf (harta yang diwakafkan), (3) mauquf alaih (tujuan atau peruntukan wakaf) dan (4) shighatul waqf (pernyataan wakaf) . Dibawah rukun-rukun ini terdapat beberapa syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun tersebut. Diantara syarat-syaratnya adalah :
• Syarat-syarat yang berkaitan dengan wakif adalah bahwa wakif harus mempunyai kecakapan melakukan tabarru’, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi. Diantara sifatnya yaitu orang yang baligh, berakal sehat dan tidak terpaksa.
• Syarat yang berkaitan dengan mauquf adalah bahwa harta yang diwakafkan tersebut harus merupakan barang yang bernilai, dimiliki oleh wakif dan tahan lama untuk digunakan.
• Syarat yang berkaitan dengan mauquf alaih adalah bahwa tujuan wakaf itu harus tidak bertentangan dengan nilai-nilai ibadah.
• Syarat-syarat yang berkaitan dengan shigah adalah bahwa wakaf disighahkan, baik dengan lisan, tulisan maupun isyarat.
Wakaf Tunai
Dewasa ini muncul pengertian wakaf tunai di kalangan masyarakat kita. Dari satu sisi, wakaf tunai ini memilki fungsi yang lebih maksimal dibandingkan dengan wakaf tanah atau wakaf bangunan misalnya. Karena wakaf tunai dapat diperuntukkan apa saja berdasarkan skala prioritas yang dibutuhkan umat. Namun di sisi yang lain, jika dicermati dari beberapa kitab klasik, akan dijumpai perdebatan dikalangan ulama mengenai wakaf tunai ini. Meskipun penulis melihat bahwa sebagian ulama yang melarangnya karena melihat bahwa uang tersebut akan habis bila dimanfaatkan. Sementara uang dapat digunakan untuk investasi misalnya, yang kemudian profit dari investasi tersebut dapat gunakan untuk kebaikan, baik untuk fakir miskin, sarana kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Sehingga tidak ada masalah jika “uang tunai” yang diwakafkan tersebut tidak habis dikonsumsi.
Dalam istilah arabnya, wakaf tunai adalah ( وقف النقود ) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi cash wakaf. Lalu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indoesia dengan dua istilah, pertama wakaf tunai, dan kedua wakaf uang. Namun penulis berkeyakinan bahwa kedua istilah ini mengacu pada istilah arab yang satu, yaitu waqfun nuqud.
Sedangkan dari segi istilahnya Wakaf Tunai adalah : “Penyerahan hak milik berupa uang tunai kepada seseorang atau lembaga nadzir (pengelola waqaf). Ketentuan, hasil, dan manfaatnya digunakan untuk amal kebajikan sesuai dengan syariat Islam, dengan tidak mengurangi atau menghilangkan jumlah pokoknya.”
Pemanfaatan Wakaf Tunai
Sedangkan dari segi pemanfaatannya, Waqaf Tunai dapat digunakan untuk menghidupkan waqaf-waqaf non tunai (tanah, bangunan) menjadi waqaf-waqaf non tunial lainnya seperti rumah sakit, sekolah, gedung perkantoran, dan lain-lain. Atau dapat digunakan berdasarkan hajat (baca; prioritas kebutuhan) yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Bahkan penggunaan dana wakaf ini begitu fleksibel hingga pada pemberdayaan ekonomi umat baik secara makro maupun mikro, mengentaskan kemiskinan, pembiayaan UKM, beasiswa, saranan pendidikan atau apa saja dalam rangka untuk meningkatkan kualitas umat secara menyeluruh.
Adapun frame yang tidak diperbolehkan penggunaan dana wakaf tunai ini (bahkan juga segala jenis wakaf) adalah pada hal-hal yang bertentangan dengan Syariah Islam. Seperti untuk membangun gereja, mewakafkan buku-buku yang mengajak pada kekafiran dan ingkar kepada Allah SWT, perjudian, perbuatan maksiat dan lain sebagainya.
Wallahu A’lam Bis Shawab